Cerita sebulan yang lalu

Takbiran bersahut-sahutan, mengingatkanku beberapa puluh tahun yang lalu, saat aku dipapah ayah menuju Mesjid Kampung Tua.  Satu persatu warga keluar dari rumahnya, jaraknya berjauhan, menapaki jalan tikus, kiri kanannya dipenuhi tumbuhan ilalang.
"Jadeh tanyo uroe raya", ucap ibuku. Ayah tidak menyahut. Ayah sibuk menyibak ranting-ranting daun yang condong di sepanjang jalan sambil menelusuri jalan yang menyerupai "sinamuek" –tempat lalu lalang kerbau turun menuju sungai- dan kilauan senter warga sesekali terlihat dari sela-sela dedaunan pepohonan. Kami dan warga berjalan beriringan menuju mesjid tua, tapi kerapkali mereka tidak kelihatan karena semak-semak dan jalan yang berliuk-liuk menyebabkan seakan-akan kami hanya berjalan sekeluarga saja.
Sahut-sahutan takbir mengintip keheningan. Kedamaian dan rasa bahagia  memenuhi ruang kalbu. Karena keesokan harinya bisa pakai baju baru.  Mengunjungi rumah Teungku, rumah guru dan wali kelas satu.  Ayah dan ibuku sesekali mendesis mengikuti lantuan merdu irama takbiran seiring melangkah satu demi satu.
Dan kami pun tiba. Mesjid yang lantainya berupa tanah yang digelari tikar pandan putih dipenuhi jamaah. Dengan tertib mereka berganti-gantian membaca bait-bait takbir dengan penuh kekusyukan.
Begitulah gambaran masa kanak-kanak dulu.  Terlukis begitu jernih dalam ingatanku.  Saat kepolosan dan jiwa nan masih belum ternodai.  Kegembiraan, kegirangan, dan rasa bahagia menutupi  semua masalah yang meluluh lantakkan lingkungan, tetap tersenyum, menepis berbagai persoalan.  Demikianlah masa kanak-kanak itu.
Sekaranglah hari yang kukenang itu.
Takbir-takbir silih berganti susul menyusul menggenapi kemeriahan Hari Raya Idul Fitri ini.  Tapi aku bukan lagi dalam papahan ayah, bukan pula dalam gendongan ibu.  Aku sudah berumur 40 tahun. Persis seusia ayahku memapahku saat dulu. Saat ia menjulangkanku di atas pundaknya. Saat ibuku memanjakanku. Saat mereka memuji-mujiku karena menarik hatinya ketika aku memakai pakaian baru.  Saat kami bersalaman di pagi itu.  Saat indah-indahnya masa itu.
Jalan-jalan kecil itu hanya tinggal sebuah kenangan. Aku sudah tinggal di kota, yang jalannya beraspal licin, riuh dan hiruk pikuk kenderaan para takbiran memenuhi jalan. Cahaya senter tiada terlihat lagi, terangnya lampu merkuri menerangi jalan hingga ke lorong-lorong. Takbiran pun dimeriahkan secara marathon dengan kenderaan-kenderaan berpawai mengelilingi kota.
Akan tetapi semangatku menjadi kerdil ketika keesokan harinya sang Khatib membuka kembali lembaran hidupku. Diceritakan tentang kasih sayang orang tua pada anaknya.  Tiba-tiba rasa sesak mengganjal dadaku.  Aku telah kehilangan segalanya.  Perjalanan waktu telah menghapus cerita indah.  Kesibukanku telah menodai cinta mereka. Ayah dan ibuku hanya tinggal seorang diri.  Kuyakin pertemuan setahun sekali takkan membuat hatinya puas merasakan cinta.  Mungkin hatinya terkatup tak berani berkata "mengapa engkau begitu tergopoh-gopoh menemuiku". Makanya mereka memilih diam daripada berkata-kata demi mengusik kesenangan yang aku nikmati selama ini.
Wejangan sang khatib semakin lama semakin membuat aku tersiksa. Jantungku berdegup kian kencang. Penyesalan datang sangat tiba-tiba, aku ingin berteriak sekuat tenaga di tengah heningnya kekusyuan para jamaah.  Khatib itu telah memaksaku untuk memutar kembali kisah-kisah indah bersama ayah ibuku.  Lagi-lagi aku jatuh pada suasana yang tidak mungkin memaafkan diriku sendiri.  Aku terpukul, tiada berguna… Tetesan bening tak kuasa kubendung, meleleh dingin di wajahku yang keram.  Kesalahan di mana aku tidak tau kapan aku perbuat.  Dosa-dosa di mana aku tidak mengetahui kapan aku lakukan.
Tidak mungkin kutunda lagi.  Selesai shalat 'id aku sekeluarga akan terbang menuju mereka.  Aku ingin mencium pipinya, ingin merangkul badannya.  Semua itu sesuatu yang tidak pernah sekalipun aku lakukan.  Mungkinkah aku melakukannya ini untuk pertama kali?
"Kali ini aku tidak punya rasa malu lagi, akan kulakukan. Kucium, kudekap sepuas-puasnya".
Di sepanjang perjalanan aku mengingat-ingat semua nasehat khatib, sehingga batinku terisi penuh sesak dan tumpang tindih, membuat suasana hatiku semakin panas, bergelora dengan bermacam kisah saat-saat dulu bersama.
Sorenya kami sampai.  Mereka sudah berdiri di depan pintu.  Segera kuturun dari kereta. Menghampirinya, dan kuraih tangan ibu. Aku tak kuat menahan rasa.  Meledaklah perasaan itu sehingga kurangkul mereka kedua-duanya, dan entah apa kata-kata yang kuulang-ulang saat itu.  Hanyutlah aku dalam pelukan keduanya.  Tercium dari mereka bau keringat yang menerbangkan jiwaku jauh menuju masa kanak-kanak dulu.  Yaitu bau keringat kelelahan, karena aku meminta, bersenda, bahkan memaksanya untuk diberikan sesuatu.  Bau keringat pengorbanan karena masalah-masalah yang sering aku lakukan. Keringatnya karena kecapaian dalam menjaga, memelihara, mencari dan mengobati.  Keringat kasih sayang orang tua pada anak-anaknya.
Kuraba pundak-pundak mereka di mana dulunya aku sering mendudukinya, sekarang sudah berubah menjadi tulang-tulang kerdil yang berbalut kulit. Otot-otot mereka yang gagah sudah berubah menjadi lentur dan lunglai.  Kedua rangka tubuh yang kini berada di hadapanku semua tidak bisa lagi banyak menaruh harapan.  Tidak mungkin aku memintanya untuk dipapah kembali, ditimbang dan digendong.  Semua keadaan sudah berubah.  "Mereka hampir tiada berguna lagi", ucapku dalam hati.
Air mataku berderaian memikirkan itu, kata-kata tiadalah guna jika  kuungkapkan.  Tak mungkin ada perbendaharaan kata-kata yang dapat mewakili segenap perasaan yang kurasa.  Tak ada lembaran-lembaran yang mampu menampung segala keresahan ini.
Aku hanya diam seribu bahasa, tetapi hatiku telah menulis hikmah yang tiada terkira banyaknya.  Demikian juga mereka.  Kutahu lebih banyak lagi yang mereka rasakan dibanding dengan aku.  Kuyakin masing-masing mereka merasakan keindahan itu dan merahasiakan satu sama lain hingga sampai nanti.
Tag : Other
Back To Top